Perbukitan kapur didaerah Bandung Barat ini selalu terlewati ketika awal-awal saya bekerja di Jakarta. Karena Tol Cipularang masih belum ada, ketika itu hanya ada dua alternatif jalur transportasi dari Bandung menuju Jakarta. Yaitu kereta api yang melewati jalur Cikampek dan bis kota yang melewati puncak Bogor. Sehingga hapal betul titik-titik gunung kapur itu semakin hari semakin berkurang dan hancur. Kars yang akan teringat terlewati pertama kali dari Bandung adalah Gunung Hawu dengan lobang menganga ditengahnya. Setelah gunung hawu keindahan bukit kapur berikutnya yang menurut saya paling bagus adalah gunung Masigit. Keindahan gunung Masigit terlihat sangat natural dan agak sedikit memancarkan daya magis. Keindahan ini sangat bertolak-belakang dengan keadaan sekitarnya yang sudah hancur karena keserakahan manusia. Yahh detik demi detik, tahun demi tahun penambang-penambang ini menghabiskan batu kapur disekitar Kars Rajamandala. Dahulu belum ditemukan potongan fosil manusia Pra Sejarah di Goa Pawon, dahulu belum ada acara Geotrek yang akan membuka mata semua orang tentang keindahan Kars Rajamandala. Tetapi ketika itu, saat melihat keindahan gunung Masigit, saya berharap bisa melihat dari dekat sebelum gunung ini ikut punah karena ditambang, walaupun entah kapan. Bahkan berharap daerah ini bisa dijadikan tempat wisata karena keanggunan gunung Masigit. Tapi kala itu seperti bermimpi, dalam pikiran naif mungkin cuma saya saja yang sangat tertarik dengan keindahan Kars Rajamandala ini. Padahal nyatanya banyak sekali orang-orang yang memperhatikan keberadaan Kars ini dan lebih ada actionnya tidak hanya sekedar bermimpi hehe. Bahkan pelukis legendaris almarhum Affandi pernah melukis gunung Masigit ini dengan judul lukisan Padalarang (sumber Poster Lipat Pusaka Bumi Kars Rajamandala oleh T.Bachtiar).
Tapi pernahkah membayangkan sekitar 20-30 juta tahun yang lalu atau masa oligo-miosen, perbukitan kapur ini dahulunya merupakan lautan dangkal yang subur akan terumbu karangnya ?. Yah dari Sukabumi sampai Rajamandala, masa itu adalah lautan dangkal kaya akan terumbu karang seperti halnya Bunaken. Tetapi kemudian terjadi pengangkatan muka bumi sehingga terangkat menjadi dataran yang akhirnya tumpukan terumbu karang tersebut membentuk bukit-bukit kapur yang terkenal dengan nama formasi Rajamandala. Perbukitan dengan batu gampingnya tersebut menjadikan pertanda geologis akan asal muasal tempat ini. Semua ini makin diperkuat oleh beberapa fosil terumbu karang yang tersebar di formasi Rajamandala ini.
Bahkan pak T.Backtiar dari Kelompok Riset Cekunan Bandung (KRCB) menyebut kawasan ini sebagai Arsip Bumi yang menyimpan sisa-sisa kehidupan laut puluhan juta tahun yang lalu. Arsip Bumi ini semakin penting tatkala pak Budi Brahmantyo seorang Geologist yang baru pulang kuliah dari Jepang, menemukan batu obsidian di Goa Pawon. Pak Budi berasumsi kalau batu Obsidian ini bukanlah batu asli daerah kapur ini. Yang bererati batu Obsidian yang dia temukan dibawa oleh seseorang dijaman dulu. Karena rasa penasaran itulah akhirnya dia menggali disalah satu ruang Goa Pawon, dan menemukan alat-alat untuk mempermudah mencari makanan yang terbuat dari tulang binatang ataupun batu kali. Lalu selanjutnya tim arkeologi melanjutkan penggalian dan ditemukanlah fosil Manusia Pawon yang berumur kurang lebih 9.500 tahun yang lalu. (dirangkum dari Poster Lipat Pusaka Bumi Kars Rajamandala oleh T.Bachtiar)
Tetapi penemuan-penemuan benda bersejarah tersebut sama sekali tidak bisa menghentikan aktifitas penambangan, penggalian dan penggerogotan untuk menghancurkan bukit-bukit kapur disini. Getaran suara bor super raksasa tanpa henti terus mengedor kokohnya bukit-bukit kapur sampai menggema keseluruh kekawasan perbukitan. Truk-truk tua yang berjalan pelan dan mengeluarkan kepulan asap hitam, silih berganti meraung-raung melewati jalan naik turun sambil membawa bongkahan batu kapur kelokasi pabrik.
Dari puncak-puncak bukit terlihat kabut hitam yang cukup gelap. Ternyata itu bukan kabut hitam yang akan mengeluarkan hujan, itu adalah kumpulan asap dari pembakaran batu kapur yang mencemari udara sekitar. Kabut hitam tersebut melengkapi debu-debu batu kapur yang tidak berhenti mengepul diudara, sampai memutihkan beberapa genteng rumah sekitar. Beberapa perbukitan kapur sudah hampir rata tidak berbekas akibat keserakahan manusia. Gunung Hawu, Gunung Masigit, Pasir Pawon, Karang Panganten, Pasir Pabeasan dll, seperti pasrah dan hanya bisa menunggu sampai ajal datang. Sampai kapankah penghancuran Arsip Bumi ini akan berlangsung ??
Cerita-cerita tentang perbukitan kapur di Padalarang ini didapat setelah saya membaca buku “Wisata Bumi Cekungan Bandung” karya T.Bachtiar dan Budi Brahmantyo. Bahkan karena buku tersebut, mata saya terbuka kalau ternyata potensi Wisata Bumi di Cekungan Bandung yang sangat edukatif itu sangat kaya. Dibuku tersebut disusun Itenerari-Itenerari perjalanan kawasan Cekungan Bandung dengan background Geology dan Geography. Dibuku ini Itenerari-Itenerari ini di sebut Geotrek 1,2 dan seterusnya. Dan gara-gara buku ini juga akhirnya saya mengenal acara Geotrek yang di fasilitasi oleh Mata bumi. Yang selanjutnya acara ini membangkinkan keinginan saya untuk melihat dari dekat sosok perbukitan kapur ini sebelum hancur. Dua truk TNI yang yang berisi puluhan peserta rombongan Jelajah Geotrek Lintas Kars Rajamandala sudah memasuki kawasan perbukitan kapur.
Tujuan pertama yang dituju adalah gunung Hawu, gunung yang terlihat bolong ditengahnya serta ada lubang vertikal diatasnya. Lubang tersebut seperti tungku api dimana lubang horizontal buat memasukan kayu bakar, dan lubang vertikal buat sumber apinya. Karena kemiripan sama tungku api inilah gunung ini disebut Gunung Hawu yang dalam bahasa Indonesia, Hawu berarti tungku api. Rombongan menaiki puncak gunung Hawu. Dari sini terlihat beberapa titik bukit kapur yang sedang menunggu ajalnya. Beberapa titik sudah dalam taraf penghapusan peta bukit, dititik lainnya beberapa bukit sedang digedor untuk dihancurkan.
Tapi diseberang puncak gunung Hawu masih berdiri Pasir (bukit) Pabeasan yang terlihat utuh. Ini dikarenakan didinding utara pasir Pabeasan dijadikan base camp atlet-atlet atau para pengemar olahraga panjat tebing. Secara tidak langsung merekalah laskar terakhir yang akan mempertahankan kekokohan Pasir Pabeasan. Para pemanjat tebing tesebut menjadikan dindin Pasir Pabeasan sebagai latihan panjat dinding alami bukan tanpa sebab, karena dinding kapur yang tegak dengan rekahan-rekahan serta lobang-lobang alami tersebut sangat cocok untuk pemanjat tebing (dirangkum dari Poster Lipat Pusaka Bumi Kars Rajamandala oleh T.Bachtiar).
Dari gunung Hawu perjalanan dilanjutkan ke Stone Garden dipuncak Pasir (bukit) Pawon. Stone Garden inilah yang memikat saya untuk mengikuti acara ini. Disini terdapat bentukan batu kapur yang berjejer dengan indahnya. Bahkan pemandangan gunung Masigit dilihat dari Stone Garden jauh lebih menawan. Batu-batu yang berserakan dan berdiri kokoh tersebut terbentuk karena pelarutan air hujan. Proses pelarutan tersebut berlangsung jutaan tahun sehingga membentuk bebatuan yang disebut Stone Garden atau Taman Batu (dirangkum dari Poster Lipat Pusaka Bumi Kars Rajamandala oleh T.Bachtiar).
Disini kami seperti disuguhi mahakarya dari seorang seniman alam. Batu-batu tersebut berdiri dengan sangat indah. Ada batu yang membentuk pintu gerbang, sehingga disebut batu gerbang. Ada batu yang berdempetan sehingga disebut batu Mesra. Bahkan disini bisa dilihat dengan jelas fosil terumbu karang yang masih utuh, sebagai bukti disini ada kehidupan laut dimasa lalu. Bagi penggemar photography dijamin akan dimanjakan oleh pemandangan sekitar Stone Garden.
Sangat disayangkan potensi wisata Stone Garden ini tidak termanfaatkan dengan baik. Bahkan saya yakin banyak warga Bandung sendiri yang tidak mengetahui keberadaan Taman Batu ini. Padahal kalau bisa dikelola dengan baik bisa bermanfaat bagi warga sekitar. Tuntas sudah janji saya akan mengunjungi puncak Pasir Pawon ketika setahun yang lalu untuk pertama kalinya hanya bisa mengunjungi Goanya saja yaitu Goa Pawon.
Turun dari puncak Pasir Pawon, treking dilanjutkan ke Goa Pawon yang tepat berada dibawah puncak Pawon. Goa ini terbentuk karena resapan air yang melarutkan batu kapur. Setelah ribuan bahkan jutaan tahun air melarutkan batuan kapur, terbentuklah ruangan-ruangan goa. Stalagtit-stalagtit terlihat menggantung di atap goa. Dan beberapa stalagnit juga terlihat menyembul dari dasar goa. Sebelumnya sudah pernah mengunjungi Goa ini , jadi saya sudah prepare penutup hidung karena bau kotoran kelelawar akan menyambut kami. Tetapi dalam kunjungan kali ini dapat beberapa ilmu yang penting tentang Goa Pawon dari nara sumber bapak T.Bachtiar dan Budi Brahmantyo. Mereka berdua seakan-akan tidak pernah kehabisan energi untuk menerangkan ilmu mereka ke semua peserta.
Dari semenjak gunung Hawu mereka berdua antusias menerangkan asal-asul bebatuan ini terbentuk sampai kesejarah suatu tempat. Di Goa Pawon inilah mereka berdua banyak bercerita bagaimana orang-orang jaman manusia Pawon hidup. Juga disinilah pak Budi Brahmantyo menceritakan bagaimana dia menemukan tulang-belulang serta bebatuan yang dijadikan alat oleh manusia Pawon dulu.
Posisi goa Pawon sangat unik, disini terdapat jendela keluar dari ketinggian. Yang kata pak T.Bachtiar bisa dijadikan sebagai tempat mengintai hewan buruan dibawahnya. Digoa ini juga terdapat ruang-ruang yang sangat cocok untuk dijadikan sebagai tempat tinggal juga sebagai pelindung dari hujan. Disalah satu ruangan goa diletakan duplikat kerangka fosil manusia pawon untuk mengedukasi semua orang yang berkunjung. Keangkeran suasana sekitar ini menyelamatkan Goa Pawon dari kehancuran karena dipelihara dan dijaga oleh masyarakat sekitar.
Semoga proses penghancuran perbukitan kapur yang terbentuk jutaan tahun ini bisa dihentikan. Sehingga Arsip Bumi ini bisa terus menerus mengajarkan ilmunya ke anak cucu kita.
Indah sekali, sayang batu karst ini tidak dijaga baik oleh manusia padahal merupakan bukti penting sejarah naiknya muka bumi… saya ingin segera kesana danmenikmati pemandangannya selagi masih ada…
@Alfi : Ya itulah salah satu sifat manusia yaitu “serakah”, apalagi mengatasnamakan unutuk mengisi isi perut orang
wah ini pegunungan yang kelihatan dari kereta menuju bandung ya? sayang sekali sepertinya penghancuran masif dimana mana 🙁 padahal tempatnya menarik. O iya, itu acara geotrek rutin diadakan? siapa saja bisa ikut gak ya? kepengen 🙂
@Fahmi : iya ini kars yang terlihat dari kereta tapi agak jauh kalo dari kereta mah ….ini acara rutin dan untuk umum.. info terbaru tgl 20 sep 2014 ke kawah gn.Galunggung
Aduh, baru tahu ada tempat secantik ini, hampir mirip gugusan karst yang merentang di Gunung Sewu. Jadi sedih kalau ada fakta manusia terus melakukan pengeboran, kayak gak ada peduli dengan sejarahnya di masa lampau. Lalu sampai sekarang bagaimana nasibnya Mas? Apa masih tetap bertahan atau mulai perlahan dikikis? 🙁
Artikel yang luar biasa, semoga dapat meningkatkan kepedulian terhadap Karst Rajamandala dan Tebing 48, Tebing 125,,,tetap terjaga.
Sayang banget dirusak sama monster-monster pengeruk kapur, sad, hiks