Kilometer Nol Indonesia, Sabang

Posted on

Kilometer Nol Indonesia, SabangAwan mendung diselingi gerimis kecil masih menutupi langit diatas pulau Weh, Sabang. Tanpa membuang waktu, bang Midi, supir yang akan menemani jalan selama dipulau Weh langsung membawa kami keluar dari pelabuhan Balohan yang berada disisi selatan pulau. Mobil terus meluncur dijalan aspal basah yang mulus dan sepi. Sinar matahari tertahan awan hitam sehingga langit terlihat lebih gelap dibanding waktu sebenarnya. Walau begitu hujan tak kunjung turun dengan besar, hanya gerimis kecil yang kadang turun kadang berhenti. Sepanjang jalan suasana sangat sepi, rumah-rumah kelihatan tidak terlalu padat. Jalan keluar dari pelabuhan menuju arah lapangan terbang Coet Batu sangat bagus dan lebar serta dipasang separator jalan ditengah sehingga membentuk dua lajur jalan. Mendekati Coet Batu kontur jalan sedikit berbukit sehingga jalan agak naik turun. Beberapa saat kemudian sampai dipertigaan dimana jalan lurus mengarah ke pusat kota Sabang dan kekiri mengarah ke jalan kecil yang menurun mengarah ke sebelah barat pulau yaitu Gapang, Iboih dan juga menuju tugu kilometer nol Indonesia. Lapangan terbang Coet Batu sekarang ada di kanan jalan. Juga masih dipertigaan ini terlihat dari ketinggian satu-satunya danau besar sebagai pensuplai air PDAM dipulau yang luasnya 121KM ini, yaitu danau Aneuk Laot. Pada jaman Hindia Belanda danau ini pernah dijadikan sebagai sumber air tawar untuk kebutuhan kapal-kapal yang berlabuh di teluk Sabang. Sayang sekarang sebagian permukaan air tertutup oleh eceng gondok. Bang Midi yang menemani kami memberitahukan kalau sekarang tidak boleh sembarang orang masuk ke lokasi danau. Sangat setuju sekali dengan larangan itu biarlah keindahan danau tersebut dinikmati dari kejauhan, agar keindahan serta keasrian flora sekitar danau terjaga yang membuat kualitas air danau ikut terjamin. Terlebih danau ini menjadi sumber mata air PDAM Sabang. Mobil terus meluncur turun dipinggir danau mengarah kepertigaan lain dimana kekanan menuju pusat kota lalu kiri ke Iboih. Karena Iboih yang dituju kendaraan berbelok kekiri, sekarang mobil berjalan dipinggir teluk Sabang. Itu berarti sekarang kami sudah berada di sisi utara pulau. Jalan semakin naik turun dan diketinggian jalan yang membentuk bukit, disebelah kanan mobil terlihat ada sebuah pulau kecil dan bisa dipastikan itu adalah pulau Klah. Setelah sebelumnya survei terlebih dahulu tentang pulau-pulau sekitar pulau Weh di googlemap, ternyata pulaunya lebih dekat dan lebih kecil dibanding dengan yang ada dibayangan saya. Kondisi jalan semakin meliuk-liuk dan naik turun. Sekarang jalan sudah tidak berada dipinggir teluk Sabang, mobil berada ditengah rimbunnya hutan. Dikiri atau kanan jalan, kadang jurang yang silih berganti dengan jejeran pohon yang tinggi. Suasana jalan masih sepi karena kiri kanan hutan yang lumayan lebat. Terlihat dibeberapa tebing, ada bekas longsoran kecil ternyata sebelumnya di Sabang hujan tidak pernah berhenti sepanjang hari. Kurang lebih satu jam dari pelabuhan Balohan, sampai di pantai Gapang. Salah satu titik wisata pantai yang terkenal disisi barat pulau Weh selain Iboih. Tidak berapa lama dari Gapang akhirnya sampai juga di Iboih, yang akan dijadikan tempat untuk beristirahat selama di Sabang.

Danau Aneuk Laot

Danau Aneuk Laot

Suasana di Iboih sangat kontras dengan suasana sepanjang jalan dari Balohan ke Iboih. Dimana pantai berpasir putih yang sekarang ada dihadapan mata suasananya lumayan ramai. Agak sedikit aneh juga setelah perjalanan kurang lebih satu jam yang sangat sepi sehingga jarang ada kendaraan lain berpapasan, tetapi begitu sampai di Iboih suasana berubah total karena lumayan ramai. Bahkan disepanjang jalan kawasan wisata Iboih yang sebenarnya pendek, sangat penuh dengan mobil yang parkir dikiri kanan jalan. Diseberang pantai terlihat satu pulau yang jaraknya tidak lebih dari 500 meter. Karena terlalu rajin membaca peta, walaupun baru pertama kali mengunjungi suatu tempat, saya sama sekali tidak merasa asing dan sudah bisa memetakan tempat-tempat sekitar dimana kaki berdiri. Tidak perlu bertanya apalagi confirm ke orang, sangat mudah menebak kalau itu adalah pulau Rubiah. Pulau yang dahulu pernah menjadi tempat yang bersejarah dan pernah dipakai sebagai karantina haji dari Indonesia ketika naik haji masih menggunakan kapal laut. Setelah melihat jarak ke Pulau Rubiah yang tidak terlalu jauh sebenarnya masih bisa menyeberang dengan cara berenang (pake fin dan snorkel tentunya). Cuma beberapa orang tidak merekomendasikan buat menyeberang dengan berenang karena terdapat palung laut yang dalam.

Teupin Layeu

Teupin Layeu

Terlihat beberapa wisatawan masih mengenakan pelampung orange entah habis berenang dilaut atau baru pulang dari pulau Rubiah. Beberapa pengunjung lainnya yang mau menyeberang kepulau Rubiah sudah berkumpul diujung dermaga, menunggu perahu yang akan menjemput mereka. Sebenarnya pantai berpasir putih ini namanya Teupin Layeuh, tetapi orang lebih mengenal dengan pantai Iboih. Padahal Iboih hanya nama desa tempat pantai Teupin Layeuh berada. Seperti biasa untuk yang kesekian kalinya ketika sedang mendokumentasikan suasana pantai, selalu ada beberapa pengunjung yang datang request minta dipoto sambil bertanya “Bang , Dipoto berapa yah ? Langsung jadi ngak ?”. Sepertinya tampang saya ini memang tampang tukang poto keliling hahaha, terlebih pas jalan-jalan ditepi pantai ketika itu membawa dua kamera. Sebenarnya kalau ada yang minta diphoto, akan saya ladenin lalu setelah itu minta email dan hasil photo akan diemail. Tetapi pengunjung yang request kali ini dengan cepat mengetahui kesalahannya dan langsung menebak kalau saya bukan tukang poto keliling, yang akhirnya mereka malu hati sendiri sehingga tidak jadi diphoto walaupun tangan sudah mengambil kuda-kuda buat memotret xixi.

Teupin Layeu

Teupin Layeu

Waktu sudah menunjukan pukul 11 siang, berhubung ini hari jumat maka sebelum berangkat shalat jumat mudah-mudahan penginapan sudah didapet. Sebenarnya kami mencari penginapan pinggir laut di tepi hutan Iboih. Tetapi untuk satu malam ini akhirnya dipilih penginapan murah meriah dan seadanya yang tepat menghadap pantai Teupi Layeuh. Karena untuk survey masuk ke penginapan-penginapan berbentuk kabin yang ada didalam hutan Iboih, membutuhkan waktu dan tenaga karena harus jalan kaki lumayan jauh dijalan setapak yang naik turun dengan pohon-pohon yang sangat rimbun.

Kilometer Nol Indonesia

Kilometer Nol Indonesia

Setelah dapat penginapan sementara, siap-siap jumatan karena jarak masjid buat jumatan lumayan jauh dan lebih dekat ke pantai Gapang. Sebenarnya di Iboih ada Masjid juga tetapi untuk shalat jumat emang dipusatkan di satu masjid deket pantai Gapang yang lebih besar. Itu bisa jadi dikarenakan penduduk Iboih yang berdasarkan statistik tahun 2004 hanya 575 jiwa, yang merupakan desa berpenduduk paling sedikit dikecamatan Sukakarya kota Sabang. Dikota Sabang hanya ada dua Kecamatan yaitu Sukakarya dan Sukajaya, dua nama itu sebenarnya “Bandung Banget”, sehingga serasa di Bandung hehe. Bahkan ada nama tempat di Bandung yang persis sama dengan dua nama kecamatan di Sabang tersebut. Contoh nama-nama tempat di Bandung yang diawali oleh suka adalah : Sukajadi, Sukaraja, Sukamiskin, Sukasenang, Sukawarna, Sukaluyu, Sukasari, Sukapura, Sukagalih, Sukamulya, Sukarasa dan suka-suka lainnya saking banyaknya hehe.

Kilometer Nol Indonesia

Kilometer Nol Indonesia

Sehabis jumatan lanjut berangkat ketitik kilometer nol Indonesia yang ada ujung barat laut pulau Weh. Suasana semakin sepi, hanya ada jalan mulus yang berkontur ditemani rimbunan pohon dikiri-kanan jalan. Didepan terlihat ada pertigaan jalan untuk menuju kawasan militer dan satunya menuju tugu kilometer Nol. Dikawasan militer ini merupakan tempat Radar militer dipasang. Sangat cocok sekali menempatkan radar militer disini, karena berada disisi paling barat Indonesia. Sebelumnya radar tersebut dioperasikan dilapangan udara Sabang, tetapi karena cakupan wilayahnya kurang bagus maka dipindahkanlah kepuncak gunung Iboih.

Kilometer Nol Indonesia

Kilometer Nol Indonesia

TNI AU melihat perlu menghadirkan kekuatan udara diwilayah paling barat Indonesia, maka pada tanggal 11 Oktober 1988 Radar Early Warning Thomson TRS 2215 D yang dibeli dari Perancis mulai digelar di Sabang, untuk sementara penempatan disebelah Runway 10, namun karena cakupan (coverage) kurang bagus, maka pada tanggal 13 Juli 1991 Radar dipindahkan diatas puncak gunung Iboih yang memiliki cakupan (coverage) yang sangat bagus dan masih berada didalam pulau Weh. Penggelaran Radar tersebut bertujuan untuk mengawasi udara di wilayah corong barat Indonesia. Sumber : http://tni-au.mil.id/ (June 2014)

Kilometer Nol Indonesia

Kilometer Nol Indonesia

Memasuki wilayah kilometer Nol Indonesia, sangat sepi dan hanya ada beberapa kelompok pengunjung saja. Lokasinya berada diketinggian tebing yang langsung menghadap kelaut, sehingga bisa melihat laut dari kejauhan. Lokasi yang sangat tepat dan cocok sekali memandang lautan ditapal batas. Mungkin mirip seperti tebing di Uluwatu di Bali ketika menghadap kelaut. Disini berdiri tugu yang sepertinya kurang terawat yang menjadi magnet para pengunjung untuk berphoto. Tugu ini dibangun dimasa pemerintahan presiden Soeharto dan diresmikan oleh wakil presiden Tri Sutrisno. Sebelumnya sudah sangat puas dan bersyukur karena angan-angan berdiri diatas pulau Weh Sabang terkabulkan. Serasa bermimpi, sekarang saya malah tepat berdiri ditempat yang spesial di Indonesia, yaitu Kilometer Nol Indonesia. Masih dengan suasana bersyukur, mata ini langsung men-scan suasana sekitar secara detil. Hanya ada beberapa warung disekitar tugu, salah satunya ada warung yang tepat berada dibibir tebing. Kawasan ini masih dikelilingi oleh hutan yang lumayan terjaga. Ketika leher berputar kearah laut tenyata yang menjadi perhatian saya bukan lagi tugu kilometer Nol. Mata lebih tertarik ketika melihat sesuatu yang berkibar dibalik tembok benteng pembatas antara jalan dan tebing kelaut. Kibarannya amat sangat sederhana, bentangan kain tersebut tidak melebihi bentangan kedua tangan saya. Bahkan hanya diikatkan kepada batang ranting kering yang kecil, serta ditancapkan seadanya kedalam rongga diantara bebatuan. Salah satu ujung kain yang berkibar sudah mulai koyak. Kaki ini langsung memanjat benteng pembatas jalan dan tebing kelaut untuk menaiki bebatuanya, tentu dengan tujuan yang jelas yaitu mendekati kibaran kain diranting pohon kering tersebut. Yaah karena kibaran bendara yang berwarna merah putih inilah yang membuat tugu kilometer Nol seakan-akan tidak berarti. Kibaran bendera yang berkibar seadanya diujung barat Indonesia ini penuh dengan makna. Siapa gerangan yang menancapkan bendera ini disini ?. Saya begitu sangat terhormat dan bangga sekali untuk berphoto disisi kibarannya, hal ini jauh lebih bermakna bagi saya dibanding berphoto didepan tugunya sendiri.

Pantai Gapang

Pantai Gapang

Lepas dari tugu kilometer nol Indonesia, kembali menuju arah Iboih dan terus mengarah kesebelah timur pulau Weh. Pantai Gapang yang menjadi tujuan berikutnya. Memasuki lokasi pantai Gapang, berdiri banyak penginapan berkonsep bungalow yang jauh lumayan bagus dibanding dengan di Iboih. Sepertinya akomodasi penginapan di Gapang lebih siap. Tetapi suasananya sangat sepi sekali, berbanding terbalik dengan suasana pantai Teupi Layeuh di Iboih. Tidak terlihat satupun wisatawan yang bermain air di pantai. Hanya ada beberapa bule sedang nongkrong di warung ujung jalan.

Pantai Gapang

Pantai Gapang

Gelombang air laut di Gapang saat ini terlihat lebih besar dibanding di Iboih. Terlihat ada tali ayunan yang terikat dipohon besar pinggir pantai. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan untuk bermain tali ayunan, sekarang saya sama sekali tidak ingat umur. Tanpa teringat kerjaan dikantor yang numpuk, tanpa memikiran tagihan listrik, telepon, kartu kredit, apalagi memikirkan biaya renovasi rumah yang akan dilakukan beberapa bulan kedepan. Sama sekali tanpa ada beban apapun, saya mengayunkan diri dengan kencang di pinggir pantai Gapang layaknya anak kecil. Waktu yang sesaat tersebut benar-benar dinikmati sambil menghirup udara Gapang diatas terpaan ayunan tali. Moment-moment seperti inilah yang membuat saya ketagihan untuk terus menikmati keindahan alam Indonesia.

Pantai Gapang

Pantai Gapang

Tetapi segala susuatu harus ada akhirnya. Kenikmatan menikmati ayunan tali di pantai Gapang harus segera diakhiri. Walaupun tidak ada itenerary atau agenda khusus harus kemana selama di Sabang, keluar dari Gapang dengan spontan menyebut Air Terjun Pria Laot sebagai tujuan berikutnya. Suasana pedesaan yang sangat sepi sudah ada didepan mata. Sekarang berjalan dijalan setapak yang dilapisi tembok seadanya menuju kearah rimbunnya hutan. Beberapa ratus meter menyusuri jalan setapak dihutan, akhirnya sampai diujung jalan. Tidak ada jalan lain selain sungai yang ada hadapan. Tetapi setelah liat sekeliling air terjun yang dituju belum terlihat.

Ai Terjun Pria Laot

Ai Terjun Pria Laot

Sekarang untuk menuju air terjun harus menyusuri dan menaiki bebatuan disungai kecil ini. Ditengah bebatuan terlihat beberapa bule yang sedang balik dari air terjun menuruni bebatuan disungai. Bule-bule tersebut jauh lebih menghargai dan lebih tahu banyak tentang keIndahan alam Indonesia. Bahkan ketika menginap di Yulia Bungalow di Iboih lebih banyak bule yang keluar masuk dipenginapan itu. Walaupun cukup merepotkan ketika mendaki bebatuan disungai, tapi ini tidak berlangsung lama.

Ai Terjun Pria Laot

Ai Terjun Pria Laot

Beberapa saat kemudian air terjun yang tidak terlalu besar sudah didepan mata. Suasana sekitar masih sangat asri, air terjun dikelilingi hutan dengan pepohonan yang masih rapat. Yah air terjun Pria Laot dihadapan ini hanya dinikmati oleh kami, dan tidak ada rombongan lain yang berbagi pemandangan ini. Air terjun Pria Laot ini bukan air terjun terbesar, tertinggi bahkan terindah yang pernah saya liat, tetapi melihat kelestarian hutan disekitar air terjun membuat hati tenang dan damai. Setelah melihat posisi matahari semakin turun, saatnya menikmati pusat kota Sabang disore hari, terutama kuliner Sabang yang terkenal.

Kuliner Sabang

Kuliner Sabang

Dengan perut yang sudah kosong dan matahari semakin redup, tujuan berikutnya adalah kuliner Sabang yaitu Mie Kocok Sabang yang terkenal. Sebelumnya ada banyak keinginan makan ini makan itu, tetapi setelah dijejali Mie Kocok Sabang beserta martabak telornya, perut langsung penuh. Kuliner singkat dipusat kota Sabang diakhiri, terlebih karena hari semakin gelap. Dari pusat kota Sabang ditengah suasana malam kembali ke Iboih untuk beristirahat.

5 Replies to “Kilometer Nol Indonesia, Sabang”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *