Apabila menyebut kata Aceh, yang keluar secara spontan dimemori saya hanya empat hal yaitu Masjid Raya Baiturrahman, Cut Nyak Dien, Kopi dan tentunya Pulau Weh Sabang. Pertama, Masjid Baiturrahman Aceh akan selalu diingat karena sudah terlalu sering menghiasi kalendar-kalendar dirumah semenjak kecil. Kedua, nama Cut Nyak Dien akan terus menempel dimemori karena pernah mengunjungi makamnya di Sumedang. Selain itu Cut Nyak Dien sangat special karena untuk pertama kalinya nonton film berjudul Cut Nyal Dien dibioskop rame-rame satu sekolahan, tentunya itu diluar cerita kepahlawananya yang pantang menyerah dan memegang teguh prinsip yang menurut dia benar. Ketiga Kopi, Aceh dan kedai kopinya sudah sangat membudaya. Saya paling bawel dalam ritual proses pembuatan kopi. Campuran biji Arabika dan Robusta harus tepat, yang digiling agak kasar khusus untuk espresso, beberapa saat sebelum kopi dibuat. Setelah itu barulah secangkir kecil espresso bisa dinikmati. Kali ini semua kebiasaan ritual membuat kopi yang sudah dilakukan beberapa tahun kebelakang, serasa terbantahkan oleh kenikmatan kopi saring Aceh. Tidak peduli berapa campuran biji Arabika dan Robusta, tidak peduli berapa kasar gilingan kopinya, suguhan rasa kopi Aceh membuat lidah terdiam sejenak. Kopi saring Aceh merupakan kopi ternikmat yang dirasakan lidah ini selama ngopi dikedai kopi tradisional. Walau tidak semua kedai kopi saring di Aceh enak karena ada beberapa kedai yang masih menggunakan gilingan kopi basi tetapi bisa dikatakan sebagian besar kedai kopi di Aceh yang dicoba benar-benar enak.
Hal keempat tentang Aceh yang secara spontan langsung keluar adalah Pulau Weh di kota Sabang, siapa yang tak kenal lagu dari Sabang sampai Merauke yang menandakan titik ujung barat dan timur Indonesia. Pulau Weh selalu saya jadikan titik awal menggambar peta indonesia ketika tugas sekolah dibangku sekolah dasar. Tak heran setelah impian berdiri disisi paling selatan Indonesia yaitu pulau Rote terkabulkan, selanjutnya adalah ingin merealisasikan impian semenjak kecil, yaitu berdiri diujung barat dan utara Indonesia yang sekarang lebih dikenal dengan kilometer nol Indonesia yang berada di pulau Weh , Sabang. Sebelum tahun 2004 hanya empat hal itu yang diingat, dan diakhir tahun 2004 satu kosa kata tentang Aceh bertambah yaitu Tsunami, yang sekarang sudah sangat identik sekali dengan Aceh.
Perjalanan mengunjungi provinsi paling utara dan barat Indonesia ini menutup estafet jalan-jalan ditahun 2013, Setelah sebelumnya jalan ke Padang serta Bukittinggi di Sumatera Barat. Berikutnya Ternate lalu Jailolo (Halmahera) di Maluku Utara. Dilanjutkan ke Bunaken, Manado, Tomohon, Tondano dan Bitung di Sulawesi Utara. Terus menyisir selatan Indonesia ke Kupang di Pulau Timor. Dari Kupang lalu menyebrang ke Ba’a, Nemberala, Boa di pulau Rote dimana kedua pulau tersebut berada di Nusa Tenggara Timur. Tidak berapa lama tercapai juga untuk mengelilingi pulau Ambon lalu menyebrang ke Nusa Telu dan Nusa Pombo di Maluku. Terakhir dipenutup tahun, Banda Aceh yang merupakan ibu kota provinsi Nagroe Aceh Darussalam, akan dikunjungi sebagai tempat transit sebelum menyeberang ke pulau Weh, Sabang.
Kecuali ingin mengunjungi Masjid Raya Baiturahman dan Museum Tsunami (ingin melihat museum tsunami karena yang mendesign adalah kang Ridwan Kamil yang sekarang menjabat sebagai walikota Bandung), tidak ada agenda lain yang secara khusus ditujukan untuk mengelilingi Banda Aceh. Karena diperjalanan kedepan kali ini lebih memfocuskan diri ke itinerary kelilling pulau Weh, Sabang dan bukan Banda Aceh. Walaupun lebih focus ke Sabang, tetapi penginapan yang sudah pasti di booking ada di Banda Aceh, yaitu Wisma Teuku Umar. Hanya satu malam saja bermalam di Banda Aceh. Sisanya semua akan didadak on the spot karena schedule yang sangat flexible dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat itu. Entah kebetulan atau tidak Wisma Teuku Umar tempat menginap, dipilih bukan karena lokasi yang berdekatan dengan Museum Tsunami yang menjadi salah satu target utama untuk dikunjungi. Tetapi karena harga yang murah setelah booking di Agoda.
Tanggal 26 Dec 2013 bertepatan dengan peringatan tsunami Aceh. Hampir semua tempat yang berhubungan dengan tsunami Aceh dipadati oleh pengunjung. Entah itu kuburan masal atau museum Tsunami terlihat sangat ramai. Bahkan sangat sulit untuk mendapatkan supir buat menemani jalan-jalan keliling Banda Aceh karena hampir kebanyakan warga sedang melakukan doa bersama mengenang tragedi Tsunami. Bahkan kenalan di Aceh memberikan tiga orang supir termasuk dia, yang saling bergantian hanya untuk berkeliling selama setengah hari. Beberapa saat keluar dari Bandara Iskandar Muda terlihat kerumunan orang yang sangat ramai ditempat pemakaman masal korban Tsunami. Mau tidak mau tempat ini di-skip karena tidak mau mengganggu ke-khusyuan-an orang-orang yang lagi berdoa.
Kata “Tsunami” yang merupakan bencana alam yang terjadi pada tanggal 24 Desember 2004, selalu menjadi kata andalan untuk membuka obrolan dengan masyarakat di Aceh. Begitu pula orang-orang Aceh yang mengalaminya selalu menceritakan kejadian tersebut dengan sangat antusias. Seolah-olah kejadian tersebut baru kemarin sore. Sehingga selalu dipastikan tidak akan pernah bosan untuk mendengarkan dan menyimak pengalaman orang-orang yang mengalaminya. Kalau kita lihat sisi positif dari kejadian tsunami yaitu disisi pariwisata. Selain museum tsunami dan kuburan masal yang menjadi icon baru pariwisata Banda Aceh, banyak spot-spot bekas kerusakan tsunami yang dijadikan monumen tetap dibiarkan apa adanya sehingga mengundang wisatawan untuk berkunjung.
Setelah Check In dipenginapan, Masjid Raya Baiturahman Aceh adalah tujuan utama yang harus dikunjungi. Setelah ambil wudhu langsung memasuki bangunan masjid menuju baris paling depan untuk melaksanakan shalat dzuhur. Ada beberapa kumpulan ibu-ibu atau remaja perempuan yang membentuk lingkaran kecil. Suasana didalam masjid tidak terlalu banyak orang, karena sudah melewati satu jam dari waktu dzuhur. Ketika melangkah keluar masjid, justru suasananya sangat ramai. Banyak wisatawan sedang mengabadikan photo dirinya dengan background bangunan masjid atau menaranya.
Sayang museum Tsunami yang menjadi tujuan berikutnya benar-benar sangat padat dan penuh dengan pengunjung karena lagi ada acara peringatan Tsunami Aceh. Jadilah ketika berada di museum tidak terlalu menikmatinya. Untuk melewati waktu , browsing terlebih dulu untuk mensurvey lokasi yang bisa dikunjungi secara singkat disekitar Banda Aceh. Dapatlah kata “Pucok Krueng” yang menurut sumber catatan orang di blog terdapat sumber mata air alami. Tetapi yang membuat saya sangat tertarik sama Pucok Krueng yaitu adanya wisata gerilya mantan personel GAM. Selain karena pemandangan alamnya, penasaran juga ingin mendengarkan versi lain sejarah konflik Aceh dari sudut pandang mantan GAM yang terlibat langsung. Sayang tiga orang supir yang saling bergantian menemani keliling Aceh tidak satupun yang mengetahui lokasinya dimana. Ketika bertanya keorang dipenginapan, mereka malah bertanya balik “buat apa ke Pucok Krueng itu kan hutan”. Akhirnya mengalah karena memang tidak punya waktu lebih buat explore Pucok Krueng. Tetapi tetap untuk menghabiskan waktu selama di Banda Aceh, mobil diarahkan menuju barat untuk melihat pantai Lhoknga, salah satu pantai yang paling parah terkena terjangan tsunami.
Tetap kearah Lhoknga dengan sedikit harapan bisa dengan tiba-tiba berbelok ke Pucok Krueng, karena berdasarkan peta GPS lokasi Pucok Krueng searah kearah Lhoknga kalau dari Banda Aceh. Tetapi lagi-lagi pak supir sama sekali tidak punya clue lokasi Pucok Krueng dimana. Kondisi jalan dipinggir pantai Lhoknga sangat mulus. Jalan raya ini menghubungkan Banda Aceh ke Meulaboh. Waktu tidak memungkinkan untuk lanjut terus ke Meulaboh, dari Lhoknga kembali memutar balik menuju pantai Lampuuk dengan kurang gairah karena gagal melihat Pucok Krueng. Selain kurang gairah, sebelumnya sama sekali tidak berekspektasi tinggi terhadap pantai disekitar Banda Aceh. Tetapi di Lampuuk semuanya salah total. Hanya bisa ternganga melihat keindahan pasir putih yang membentuk teluk kecil ini. Pantainya berada dipesisir sebelah barat prov Aceh, tepatnya di Aceh Besar.
Diujung pantai terlihat batu besar yang membatasi pantai. Disini terdapat penginapan sekaligus resto yang pengunjungnya kebanyakan bule. Joel’s Bungalow namanya. Bungalow ini benar-benar unik karena bungalow-bungalownya ada yang berada ditepi tebing dan juga ada yang berada ditengah-tengah genangan air laut yang terperangkap didarat, mungkin seperti laguna kecil.
Hari pertama di Aceh sudah disuguhi pemandangan pantai Lampuuk yang keren. Bahkan pantai ini dijuluki kuta-nya Aceh, walau secara penilaian pribadi, pemandangan pantai Lampuuk jauh lebih indah dibanding Kuta. Tetapi lagi-lagi di Bali pariwisata sudah menjadi industri yang sangat maju, sehingga untuk masalah fasilitas, akomodasi dan lainmya di Lampuuk amat sangat tertinggal. Kali ini butuh usaha yang extra menahan diri untuk tidak berenang di Lampuuk. Karena takut akan keasikan berenang padahal tidak punya banyak waktu.
Sebelum matahari makin turun, dari Lampuuk menuju Gampoang Lampageu yang berada diujung utara pulau Sumatera. Kali ini kurang beruntung dalam memilih tempat karena ketika sampai dilokasi view pemandangannya biasa saja. Setelah beberapa saat sebelumnya melihat pemandangan pantai Lampuuk yang indah ketika di Gampoang Lampageu benar-benar anti klimaks, sangat tidak bisa dibandingkan dengan keindahan dipantai Lampuuk. Dalam hitungan detik langsung meninggalkan lokasi menuju pelabuhan Ulee Lheue (baca ulè lè) yang menurut informasi yang didapet, menjadi salah satu tempat orang-orang menikmati suasana sore hari di Banda Aceh. Benar saja ketika mendekati Ulee Lheue terlihat kursi kursi nongkrong tepat didepan laut. Hanya karena rasa keingintahuan saja untuk sekedar lewat dan melihat suasananya seperti apa. Mungkin mirip seperti jembatan siti Nurbaya di Padang ketika sore sampe malam hari , dimana dipinggir jembatannya dipenuhi kursi buat nongkrong sambil makan.
Matahari sudah meninggalkan langit, kembali menuju penginapan didepan lapangan Blang Padang. Setelah Maghrib, guna mengisi perut yang sudah kosong, langsung menuju tempat makanan khas Aceh yaitu Ayam Tangkap yang menjadi makanan favorit baru saya. Serasa kurang puas menikmati kuliner Aceh, berikutnya yang disasar adalah tumpukan duren-duren yang berada dipinggir jalan untuk selanjutnya dinikmati. Menutup hari di Banda Aceh mampir sejenak diwarung-warung sekitar lapangan Blang Padang dengan tujuan ngopi. Tapi lumayan kecewa karena sama sekali tidak menemukan penjual kopi Aceh. Malam-malam harusnya sangat cocok ngopi sambil makan goreng pisang atau apalah, tapi yang ada menunya kebanyakan es, OMG malam-malam menunya es !!.
Jadilah dihari pertama ini sama sekali belum bisa menikmati suasana kedai kopi Aceh yang sangat terkenal. Karena belum mencoba kopi saring Aceh, maka lidah ini masih belum teracuni enaknya kopi saring Aceh.
Hari yang sangat melelahkan, dimulai pagi buta dari Bandung menuju Jakarta dengan tujuan bandara Soekarno Hatta. Sampai di Banda Aceh langsung explore Banda Aceh tanpa memberikan tubuh ini istirahat. Malamnya setelah kenyang sama Ayam Tangkap dan Duren, sebelum istirahat masih sempatkan nikmati kuliner dilapangan Blang Padang depan penginapan, padahal esok pagi harus siap-siap hunting tiket kapal cepat guna menyebrang kepulau Weh dikota Sabang. Kali ini cukup satu malam saja menginap di Banda Aceh. Tapi dihari terakhir apakah mau menginap semalam lagi di Banda Aceh atau tidak, tergantung dari hasil perjalanan di Sabang yang akan dimulai esok hari.
Sampai jumpa Banda Aceh. Sampai ketemu lagi pantai Lampuuk.
Tak sabar diri ini menunggu esok pagi untuk menginjakan kaki dipelabuhan Balohan Sabang.
Tips jalan-jalan di Banda Aceh :
Jangan pernah melewatkan keindahan pantai Lampuuk.
Aceh benar-benar indah.. pantainya yg eksotis, kulinernya yg pedas dan Tempat beribadah kaum muslim yg megah… saya baru tau aceh terkenal dengan kopinya… di benak saya kalau tentang aceh adalah pantai, mesjid dan kuliner.. 😀
@alfi : hehe di Aceh minum kopi di kedai kopi sudah sangat membudaya, tak heran banyak kedai kopi di Aceh. Dan kopi juga menjadi salah satu oleh2 khas Aceh. Mungkin seperti manisan buah pala yang menjadi oleh-oleh khas Ternate 😀
Saya dari dulu pingin baget ke aceh karena pesona pulau weh dan kulinernya… tapi apa daya uang tiketnya mahal banget…
@alfi : tenang alfi, nanti ada waktunya setelah bisa cari uang sendiri hehe